Pemilukada 2024, Eksistensi Partai Diuji Kotak Kosong

Oleh Nanang Sutrisno,SH,MM
Oleh Nanang Sutrisno,SH,MM

KABARHIT.COM - Pemilukada 2024 benar benar menarik dan mencuri perhatian publik, hal ini disebabkan adanya fenomena kotak kosong atau dalam istilah Jawa disebut dengan bumbung kosong.

Diantaranya adalah pasangan Eri Cahyadi-Armudji di Surabaya yang diusung oleh PDI Perjuangan dan banyak partai, pasangan petahana ini harus berhadapan dengan kotak kosong di pemilukada 2024 ini

Tampaknya kesuksesan Eri-Armudji di Surabaya diamini oleh para petinggi partai baik di Surabaya maupun di Jakarta. Selain itu angka popularitas Eri-Armudji terbilang sangat tinggi, sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei.

Hal ini juga membuat para calon lain ataupun partai pengusung calon lain yang ingin menjajal reputasi calon petahana di Surabaya ini berpikir ulang seribu kali.

Pada tahapan sebelumnya banyak calon kepala daerah baik petahana maupun pendatang baru sempat ketar ketir dan gigit jari karena tidak bisa mendapatkan ticket untuk melaju ke tahap berikutnya .

Hal tersebut dikarenakan adanya dinamika politik yang dinamis, sehingga para partai politik harus berhitung cermat atas pilihan politiknya. Sebut saja Anies Baswedan yang gagal maju kembali di ajang pemilukada Jakarta, Airin di Provinsi Banten Isran Noor di Provinsi Kalimantan Timur, dan Eddy Rahmayadi di Provinsi Sumatera Utara.

Beruntunglah ada PDI Perjuangan yang menyediakan diri untuk mengusung mereka, setelah beberapa partai yang lain terkesan ogah-ogahan untuk mengajukan mereka.

Fenomena menarik terjadi di Banten, setelah Airin yang merupakan kader Partai Golkar diumumkan diusung PDI Perjuangan, Bahlil yang baru dipilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar buru-buru balik arah mencalonkan kembali mantan Walikota Tangerang Selatan tersebut.

Sampai disini, mau tidak mau, suka atau tidak suka, orang harus mengakui bahwa peran partai politik sangat penting dan dominan dalam mengusung calon kepala daerah dalam pemilukada 2024. Tidak cukup hanya nama besar dan logistik yang kuat untuk maju sebagai calon kepala daerah.

Dengan adanya perubahan peraturan yaitu PKPU No 60 Tahun 2024 yang memungkinkan partai politik untuk mencalonkan sendiri calon kepala daerah hanya dengan bermodalkan 6,5 persen hingga 10 persen suara, maka banyak bermunculan calon kepala daerah baru yang diusung oleh partai politik.

Sebut saja di Jakarta , muncul pasangan Pramono Anung-Rano Karno dari PDI Perjuangan, menantang pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.

Sementara di Jawa Timur, awalnya calon petahana Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak, seakan akan tidak ada lawan tanding dan berpotensi melawan kotak kosong, namun dengan adanya perubahan aturan tersebut, muncul Risma - Gus Hans yang diusung PDI Perjuangan, mendampingi Luluk - Lukmanul Khakim yang diusung PKB

Lalu bagaimana jika kotak kosong berhasil menang dalam pemilukada di suatu daerah ?

KPU dan DPR menyepakati bahwa apabila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024, maka daerah tersebut akan kembali menggelar pilkada pada 2025.

Daerah dengan pilkada hanya terdiri dari satu pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pilkada diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Baru-baru ini aturan kemenangan calon tunggal pemilukada serentak 2024 digugat ke Mahkamah Konstitusi, mereka mengajukan judisial review atas aturan yang mengatur hitungan angka kemenangan yang didasarkan pada suara sah 50 persen +1, menurut pemohon seharusnya hitungan 50 persen + 1 itu berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sehingga bagi pemilih yang tidak datang ke TPS, tidak mencoblos, dianggap golput, dan dianggap juga memilih kotak kosong.

Materi permohonan judicial review ini bisa benar, namun bisa juga salah. Tergantung putusan hakim dalam memahami persamaan dan perbedaan antara tidak datang ke TPS dan tidak menggunakan hak pilihnya, yang kemudian dianggap golput. Dan dibandingkan dengan tidak setuju pada calon yang ada dan kemudian memilih kotak kosong.

Pada momentum ini, eksistensi partai kembali diuji melalui calon kepala daerah yang diajukan.
Pada pemilukada sebelumnya, Hendrar Prihadi yang diusung oleh PDI Perjuangan berhasil mengalahkan kotak kosong di Semarang dengan skor 92,4 persen , sedangkan di Makassar calon walikota Appi-Cicu dipecundangi oleh kotak kosong.

Disebutkan perolehan suara Appi-Cicu adalah 264.245 suara. Sedangkan perolehan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) adalah 300.795 suara.

Perpaduan ketokohan, logistik yang cukup, dipadu dengan strategi kampanye dan kesolidan partai pengusung menjadi faktor dominan yang menentukan dalam kontestasi 5 tahunan di pemilukada 2024.

Dalam bahasa yang mudah dimengerti, diperlukan 3 M bukan 3 miliar, tetapi Model yaitu performance atau penampilan, Modal yaitu dukungan, popularitas, elektabilitas probabilitas, mesin partai, dan yang terakhir Modus atau pendekatan yang digunakan.

*** Pengamat Sosial Politik, Anggota DPRD Kota Surabaya Periode 1999-2004

Editor : Deni