SURABAYA, KABARHIT.COM – Selasa, 6 Mei 2025 - Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) dan Pengurus Cabang PMII Surabaya, didampingi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB).
Rapat ini membahas upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Kota Surabaya yang dinilai semakin mendesak untuk ditangani secara kolaboratif.
Anggota Komisi D dari Fraksi PKS, Johari Mustawan, STP, MARS, yang akrab disapa Bang Jo, membuka diskusi dengan mengutip ungkapan seorang Tabi’in, “Barangsiapa yang konsen terhadap pemberdayaan dan perlindungan perempuan, maka sesungguhnya kita sedang mempersiapkan sebuah kota atau negeri yang kuat.”
Dalam kesempatan tersebut, Bang Jo menyampaikan sejumlah catatan penting kepada KOPRI dan PC PMII Surabaya. Menurutnya, langkah awal yang perlu dilakukan dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan adalah dengan menentukan posisioning yang tepat.
“Mulailah dari langkah kecil yang bisa dilakukan dan dikoordinasikan dengan DP3APPKB, agar upaya yang dilakukan bisa lebih terukur dan berkelanjutan,” ujarnya.
Bang Jo juga menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Jawa Timur pada tahun 2024, yang mencapai 1.762 kasus, di mana Surabaya mencatat jumlah tertinggi dengan 254 korban. Data ini menunjukkan perlunya kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan para tenaga ahli seperti konsultan, psikolog, serta pakar di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Agar pendampingan terhadap korban lebih maksimal, kita harus memperkuat sinergi dengan berbagai pihak yang kompeten. Terutama bagi perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dan kekerasan,” tegas Bang Jo.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya mengembalikan perempuan kepada kodratnya sebagai bentuk perlindungan yang paling dasar. “Ketika perempuan dijadikan komoditas, seperti ditempatkan sebagai penghibur di tempat hiburan malam, maka eksploitasi terjadi, dan itulah awal mula kekerasan terhadap perempuan,” lanjutnya.
Bang Jo menambahkan, kondisi ini sering kali dipicu oleh faktor ekonomi atau bahkan kesadaran yang keliru dari perempuan itu sendiri.
“Sebagian merasa nyaman bekerja di tempat hiburan malam tanpa menyadari potensi bahaya eksploitasi yang mengintai. Ini menjadi PR besar kita semua,” ungkapnya.
Ia menutup penyampaiannya dengan ajakan untuk mencarikan solusi alternatif bagi perempuan agar bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan aman, tanpa risiko eksploitasi.
“Misalnya menjadi guru PAUD, pendamping komunitas, atau pelaku UMKM. Ini langkah konkret yang bisa kita dorong bersama,” pungkas Bang Jo.
Editor : Deni