Semua Bisa Menjadi Guru

Oleh. Azizah Herawati

Guru, digugu lan ditiru. Begitu akronim yang digunakan oleh orang Jawa dalam menggambarkan betapa tidak mudahnya menjadi guru. Tak sebatas tugasnya untuk mengajar dan 'transfer of knowledge' di depan kelas, namun konsekuensi yang berat pun harus dipikulnya. Ya, dia adalah sosok yang harus bisa digugu alias diikuti dan ditiru alias dijadikan teladan bagi murid-muridnya.

Tak berhenti sampai di situ. Guru di mata masyarakat juga harus sempurna. Padahal tak ada kan manusia yang sempurna. Apalagi ketika menghadapi murid zaman now, generasi alpha yang lebih sedih nggak pegang gawai daripada tidak main petak umpet sama teman-temannya. Butuh energi ekstra untuk mendampingi mereka.

Buktinya seperti hari guru kali ini. Sekolah anak saya menyambut hari guru dengan cara yang berbeda. Tentu saja sangat menarik dan sayang untuk tidak diabadikan dalam tulisan. Kegiatan bertajuk "Class Inspration with Parents" ini mendaulat perwakilan para wali siswa untuk mengajar di kelas anaknya. Bisa dibayangkan bukan keseruannya. Apalagi para wali itu notabene tidak berprofesi sebagai guru. Selain saya yang seorang penyuluh, ada yang tenaga kesehatan, relawan kebencanaan, jago masak, wiraswasta, abdi dalem, pegawai laundry rumah sakit dan masih banyak lagi.

Saya yang sudah pernah punya pengalaman mengajar pun harus ekstra dalam membimbing anak-anak hebat tersebut. Mereka bukan lagi seperti generasi seusia saya yang tunduk dan patuh pada guru. Mereka punya cara sendiri untuk mengekspresikan dirinya di depan kita Akhirnya kitalah yang harus cerdas dan punya trik untuk membuat mereka semangat dan tertarik. Saya bersyukur hidup era digital, jadi sangat terbantu dengan berbagai fasilitas yang tersedia di kelas.

Ketika saya masih di bangku Sekolah Dasar, yang ada hanya papan tulis hitam dan disediakan kapur untuk menulis. Kini papan sudah putih dengan spidol sebagai alat tulisnya. Jadi, nggak bakalan ada debu sisa hapusan tulisan dari kapur di bawah papan. Begitu pula urusan teknologi. Setiap kelas sudah tersedia layar LED lengkap dengan LCD. Alhamdulillah, sesuatu yang terbayangkan pun tidak ketika saya kecil.

Momentum istimewa tak terlupakan ini menyadarkan kita bahwa semua bisa menjadi guru. Saya yakin tak ada maksud sedikitpun dari sekolah untuk menguji dan meminta kami membuktikan bahwa tak mudah menjadi guru di era digital. Tapi justru para wali siswa diajak bersinergi dan menghadirkan suasana yang berbeda di ruang-ruang kelas dengan kehadiran mereka. Jelas sekali pesan yang disampaikan bahwa semua bisa menjadi guru, apalagi sejatinya kita semua adalah guru pertama anak-anak kita, terutama ibu. " Al-Ummu madrasatul Ula", " Ibu adalah sekolah pertama (bagi putra - putrinya)".

Terimakasih atas kesempatan langka yang luar biasa ini. Ternyata tak mudah menjadi guru. Sehari saja sudah menguji adrenalin dengan tingkah unik dan kelucuan para siswa yang istimewa. Apalagi bapak ibu guru yang setiap hari harus membimbing dan mendampingi mereka. Mari bersama bergandengan tangan mendampingi anak-anak kita agar menjadi generasi tangguh, salih dan berkarakter. Apapun ulah mereka, mereka adalah istimewa. Selamat untuk para guru hebat di mana pun berada. Selamat Hari Guru tahun 2024. Guru Hebat, Indonesia Kuat. (*)

*Penulis adalah seorang guru, Penyiar Radio, dan Pegiat Literasi 

Editor : Kacong

Lapor Mas Wapres RI