SURABAYA, KABARHIT.COM – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dan DPRD terkait rencana pinjaman sebesar Rp5,6 triliun. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers pada Selasa (4/2/2025).
Menurut Yona, sebelum mengambil keputusan terkait utang, Pemkot Surabaya harus memiliki skala prioritas yang jelas dalam penggunaan dana tersebut. Ia menilai bahwa alokasi anggaran seharusnya lebih difokuskan pada kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, daripada proyek infrastruktur yang berpotensi lebih menguntungkan pihak pengembang.
"Jika berbicara tentang utang, skala prioritas harus jelas. Salah satunya adalah pendidikan dan kesehatan. Kalau pinjaman ini hanya untuk membangun akses seperti Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB) dan Middle East Ring Road (MERR), maka perlu dikaji ulang. Apakah proyek ini benar-benar bermanfaat bagi warga atau justru lebih menguntungkan pengembang?" ujar Yona.
Ia juga menyoroti dampak pembangunan MERR yang menurutnya tidak serta-merta memberi manfaat langsung kepada masyarakat. "Faktanya, ketika MERR dibangun, harga tanah di sekitarnya melonjak drastis. Pengembang yang diuntungkan, bukan warga kota," katanya.
Lebih lanjut, Yona mengungkapkan bahwa DPRD Surabaya tidak pernah diajak berdiskusi mengenai rencana pinjaman tersebut.
"Pemkot jangan membuat pernyataan seolah-olah DPRD sudah menyetujui. Bagaimana kami bisa menyetujui kalau selama ini kami sama sekali tidak pernah diajak bicara?" tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jumlah pinjaman yang diajukan bukanlah angka kecil. "Ini bukan uang receh untuk beli dawet. Ujung-ujungnya, beban utang ini akan ditanggung oleh warga kota," lanjutnya.
Pendapatan Asli Daerah Minus, Hutang Harus Dikaji
Yona juga mengkhawatirkan kemampuan keuangan Surabaya dalam membayar utang tersebut, terutama setelah Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2024 mengalami defisit sebesar Rp1,5 triliun.
"Tahun 2024 saja PAD tidak tercapai, lalu bagaimana kita bisa menambah utang?" katanya.
Menurutnya, Pemkot seharusnya lebih memaksimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang ada sebelum mempertimbangkan utang.
"Saya sepakat bahwa pembangunan harus dimaksimalkan, tetapi apakah harus dengan pinjaman sebesar Rp5,6 triliun? Apakah program wali kota untuk lima tahun ke depan harus dipaksakan dengan cara ini?" katanya.
Ia juga menyinggung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sebelumnya dianggarkan Rp1,1 triliun dari APBD, tetapi kemudian sepenuhnya dibiayai oleh APBN.
"Jika MBG sudah ditanggung APBN, maka kita memiliki ruang fiskal yang cukup besar tanpa perlu berutang," jelasnya.
Selain itu, Yona mengingatkan bahwa Pemkot Surabaya masih memiliki utang kepada vendor, termasuk di Dinas Cipta Karya. "Jangan sampai utang baru ini justru memperburuk kondisi keuangan kota," ujarnya.
Mencontoh Efisiensi Anggaran di Pemerintah Pusat Meski memahami niat baik Wali Kota Surabaya dalam membangun kota, Yona menegaskan bahwa kebijakan harus diambil dengan realistis.
"Kita paham niat baik wali kota, tetapi kita juga harus realistis. Apakah pinjaman Rp5,6 triliun ini benar-benar menjadi solusi bagi permasalahan kota?" tanyanya.
Sebagai alternatif, ia menyarankan agar Pemkot Surabaya meniru kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan di pemerintahan pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.
"Di semester awal, Pak Prabowo mampu menghemat Rp300 triliun dengan memperketat beberapa pos anggaran. Kenapa ini tidak diterapkan di tingkat kota? Prioritaskan program-program yang memiliki dampak langsung bagi masyarakat," pungkasnya.
Editor : Deni