Oleh. Ki Anom Delingsari
Membaca sepintas tema Sarasehan pada hari Sabtu 8 Nopember 2024, di pendopo kagungan dalem Tawangsari Tulungagung pk. 13.00 WIB kemarin yaitu Meneladani Perjuangan Walisongo dan Mataram Islam dalam menjaga Marwah Kebudayan serta Kedaulatan Nusantara. Awalnya saya tertarik dan berusaha hadir untuk mendapatkan pemaparan pencerahan.
Dari awal sampai akhir saya justru tidak menemukan keteladanan yang dimaksudkan. Malah sebaliknya, yang ada justru seperti yang sudah beredar luas di media sosial yang ada. Yang ada adalah kebencian dan kedengkian kepada Ba'alawi atas nama sejarah dengan menyematkan kepada perjuangan Walisongo dan Mataram Islam.
Pemateri utama adalah KH Imadudin Utsman al Bantani, pemateri kedua KH David Fuadi dari Kediri dengan moderator Dr Fakhurahman Nur Awalin.
Dari awal sarasehan KH David memaparkan pentingnya menjaga amanat ilmu dan kebenaran. Pentingnya menjaga amanah leluhur. Akan tetapi ia mengamati ada upaya pengaburan sejarah. Sebagai contoh, Pangeran Diponegoro menurut penelitian dia dikatakan, atau diklaim memiliki 4 marga yang berbeda - beda. Padahal asli orang Jawa. Kyai David juga menyatakan bahwa Walisongo tidak ada dan tidak memiliki keturunan. Setahu saya justru ada ormas yang menyatakan bahwa Walisongo adalah mitos belaka, tapi bukan Ba'alawi.
Sementara KH Imadudin sepertinya mengulang - ulang opini seperti di berbagai media sosial lainnya. Saya berharap dia mengungkapkan keteladanan para Walisongo dan Mataram Islam khususnya di bawah Sultan Agung.
Justru, saya menemukan secercah ilmu dari Gus Dillah yang menyampaikan pidato selaku sohibul bait. Dia memaparkan bahwa Amangkurat Jawi / Amangkurat IV memiliki putra ke 5 yaitu KH Nuriman Mlangi atau Rama Sandiyo. Sementara putra ke 8 nya adalah Pangeran Tolo Diponegoro atau kita mengenalnya Mbah Mansyur atau Syeh Mansur . Sehingga sebelum Tulungagung berdiri sebagai Kabupaten, Pardikan Tawangsari sudah ada terlebih dulu.
Sebuah fakta sejarah yang menarik.
Namun hati saya mengatakan betapa disayangkan Gus Dillah terjebak dalam arus penolakan terhadap Ba'alawi sebagaimana gerakan KH Imadudin dan teman-temannya. Sesuatu yang justru bertolak belakang dengan bagaimana perjuangan Mataram Islam di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Seperti nanti akan saya paparkan di belakang.
Sayangnya sesi tanya jawab hanya satu kali. Sebagai tamu saya memilih hurmat, sebab itu adalah acara internal PWI. Sehingga saya merasa kurang etis jika bertanya di awal. Sehingga kesempatan saya untuk bertanya tidak memiliki waktu.
Hal ini waklum, mengingat waktu yang menunjukkan pukul 16.00 sehingga peserta belum sholat ashar.
Ini mengingat acara molor dari pukul 13.00 baru dimulai pk. 14.35. Walhasil acara diawali bersamaan dengan adzan sholat Ashar.
Padahal pertanyaan saya sebenarnya sederhana, karakter Walisongo maupun Sultan Agung era Mataram Islam itu menyatukan, menyelaraskan, sebuah harmoni dan kedamaian, bukan kebencian, apalagi kedengkian dalam dakwah Islamiyah. Dakwahnya wasathiyah. Bukan ghuluw berlebih - lebihan dalam beragama. Dakwah Walisongo dalam fakta sejarahnya menunjukkan tidak ada perang. Murni rahmatan lil alamiin. Kalaupun ada 'perang' yaitu Sunan Ngudung ayahanda Sunan Kudus, hal ini sudah dibantah KH Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo. Bahwa itu murni keinginan pribadi atas nama kelompok kecil
Bukan legalitas formal kepemrintahan Raden Fatah selaku kholifah di Keraton Demak.
Walhasil, tema yang indah tersebut ternyata hanya indah di flyer. Namun saya tidak menemukan keindahan dalam pemaparan di hadapan peserta.
Saya melihat pak Imad perjuangannya lebih memecah belah. Kebencian dan kedengkian kepada Baalawi atas nama tesisnya yang dianggap benar mutlak.
Sebuah kedengkian yang dibungkus indah dalam tema sejarah. Nuansa kebencian itu dimulai dari awal dia berbicara dalam sarasehan itu. Tanpa sadar peserta dibawa kepada perpecahan antar ummat. Baik kiai dengan habaib. Antara ummat dengan ummat.
Pertanyaannya, lalu apa yang dia perjuangkan demi kedaulatan NKRI Nusantara ? Sepertinya tidak ada.
Yang ada justru perpecahan semakin menganga.
Walhasil
Jika dikembalikan kepada tema sarasehan, saya membayangkan narasi perjuangan Walisongo tatkala menyatukan dalam dakwah keilmuan Sunan Bonang ,sepertiyang disampaikan modertor diawal. Atau gerakan keimanan dan keislaman serta bersatunya ummat dalam nilai - nilai dan adab akhlaq Islam.
Atau Mataram Islam di bawah Sultan Agung yang kebenciannya diarahkan kepada penjajah VOC Belanda. Orang kafir secara aqidah.
Sementara Kiai Imad arah kebencian yang dia arahkan adalah kepada Ba'alawi , itupun hanya berdasar tesis yang dia bangun, seolah sebagai kebenaran mutlak, sementara puluhan tesis para ulama dunia lainnya seolah tidak masuk dalam alam pikirannya.
Sepertinya justru mengulangi sejarah Amangkurat I anak Sultan Agung yang membunuh.5000 para ulama. Membantai para kyai , santri di alun- alum Plered Kesultanan Mataram. Inilah pengibaratan yang tepat saya rasa.
Sungguh ironis dan miris. Bagaimana tesis yang ia buat, menjadi pembenar untuk membenci dzurriyah Nabi. Tanpa ia sadari tesis yang harusnya menyatukan , justru memunculkan ketegangan dan keresahan serta perpecahan ummat.
Ba'alawi yang ia klaim bukan dzuriyah Nabi seakan harus dibenci. Hanya oleh karena perilaku yang dianggap tidak Islami. Hanya segelintir. Namun oleh Kyai David dikatakan massif dan terstruktur.
Tak pelak , gerakan Pak Imad ini ibaratnya adalah seperti gerakannya Amangkurat 1 yang membunuh para ulama di era itu. Sementara hari ini ia arahkan untuk membunuh Ba'alawi dengan penuh kedengkian dalam hati.
Padahal jika harus membuat analog yang tepat, misal dengan banyaknya imigran China yang masuk ke tanah air dan menjadi tenaga kerja mengalahkan penduduk pribumi, luput dari catatan.
Padahal musuh sebenarnya bukankah mereka ini ?
Kedaulatan nusantara sungguh terancam. Persis segamaimana disampaikan oleh para jenderal. Mereka mengatakan bahwa benteng terakhir adalah ummat Islam.
Sebab, keberadaan mereka jelas mengancam kedaulatan NKRI.
Sementara, ummat Islam , sebagai benteng terakhir itu, kini telah dipecah dari dalam. Justru oleh Kyai Imadudin dan kawan-kawannya.
Padahal harusnya upaya menyatukan perbedaan pendapat seperti yang dipelopori Rabitah Alawiyah dengan diskusi dengan mengundang Kyai Imad itu yang didukung.
Tapi sayang Kyai Imad tidak hadir.
Justru sebaliknya ia turun ke berbagai daerah justru menyalakan api untuk saling membenci. Bukan untuk menyatukan dan mendamaikan.
Lalu dimana letak meneladaninya ?
Atau justru, ini memang upaya sistematis melemahkan ummat Islam seperti kekhawatiran para jenderal tersebut. Bukan hanya sekedar issu pengalihan. Sepertinya memang itu yang sengaja dibuat oleh master desain. Khas devide et Impera ala penjajah Belanda.
Kelak waktu yang akan mencatatnya. Semoga ummat tersadar. Bahwa kebencian kepada dzurriyah Nabi membawa petaka dalam hidup rumah tangganya.
Serta Kyai Imad sadar bahwa persatuan ummat dalam keberagaman itu jauh lebih utama dan layak diperjuangkan.
Sebagaimana telah berjalan dengan tenang, nyaman dan harmonis seperti selama ini.
Justru ketengan dan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara telah diporakporandakan oleh Kyai Imad dengan pengikut gerakannya.
*Penulis adalah guru seni budaya, penikmat sejarah, dah pelaku ziarah
Editor : Deni